Menuju konten utama

Musik di Tengah Konflik Indonesia-Malaysia

Konflik Indonesia-Malaysia yang dipanaskan oleh politik, bisa didendangkan hingga bergoyang oleh musik.

Musik di Tengah Konflik Indonesia-Malaysia
Penyanyi dangdut Rhoma Irama. Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Suara Nazril Ilham alias Ariel melengking keras. Sembari menghentakkan kaki dan menepuk-nepuk kedua telapak tangannya di atas kepala, vokalis grup band Peterpan (sekarang NOAH) mengajak ribuan penonton untuk bernyanyi.

“Semua tangan di atas!” seru Ariel menggema di Stadion Negara, Kuala Lumpur, Malaysia. Tidak perlu menunggu lama, suara penonton pun menggelegar melantunkan lagu "Tak Bisakah" diiringi tepuk tangan kompak mengikuti tabuhan drum yang dimainkan Reza.

Keramaian seperti itulah yang hampir selalu hadir dalam setiap konser Jelajah Malaysia yang dilakoni Peterpan pada 2008 di empat kota besar di Malaysia: Kuala Lumpur, Tawau, Kuching, dan Johor Baharu.

Tidak ada keresahan yang terlihat. Padahal relasi Malaysia dan Indonesia kerap memanas akibat persoalan batas wilayah, sentimen rivalitas, dan gesekan karena berbagai isu: dari perlakuan pada TKI hingga klaim kepemilikan budaya. Belum lagi kebakaran hutan di Indonesia yang sering menyebabkan kabut asap di Semenanjung Melayu sejak pertengahan 1990-an.

Animo masyarakat Malaysia terhadap Peterpan tergambar lewat angka penjualan album dan jumlah penonton saat konser. Peneliti budaya populer Ariel Heryanto mencatat dalam bukunya Budaya Populer di Indonesia, Mencairnya Identitas Pasca-Orde Baru, sebelum tahun 2007 diperkirakan sudah 200 ribu album Peterpan terjual di Malaysia.

Dua tahun sebelumnya, konser Peterpan bahkan mampu mendatangkan 30 ribu penonton. “(Mereka hadir) dengan penuh gelora turut menyanyikan lagu-lagu Peterpan, hingga mengalahkan suara sang artis yang berada di panggung,” sebut Ariel Heryanto.

Baca juga:Saat Ribuan WNI Ingin Menjadi Warga Malaysia

Kesuksesan merebut "telinga" Malaysia tidak hanya milik Peterpan. Pada 2001, Sheila on 7 menduduki peringkat pertama Hits of the World “Kisah klasik Untuk Masa Depan” yang dirilis Billboard chart Malaysia. Album 07 Des yang dirilis grup band asal Yogyakarta itu pun pernah meraih penghargaan Anugerah Planet Muzik Malaysia 2003 untuk kategori album terbaik.

Dari Titiek Puspa Hingga Bang Rhoma

Penelusuran Craig A. Lockard, yang diuraikan dalam From Folk to Computer Songs: The Evolution of Malaysian Popular Music 1930-1990, menyatakan jejak musik(us) Indonesia di Malaysia dimulai sejak 1950-an dan 1960-an. Saat itu sejumlah label rekaman Indonesia telah muncul di Semenanjung Malaka dan Singapura. Beberapa penyanyi asal Indonesia, seperti S.Abdullah, Elly, dan Elly Kasim, bahkan saat itu sudah cukup dikenal.

Namun, baru pada 1970-an penetrasi musik Indonesia di Malaysia meningkat tajam. Hal itu dipermudah oleh relasi yang makin akrab antara Indonesia dan Malaysia. Soeharto memangkas habis politik konfrontasi kepada Malaysia.

Baca juga: Kisah Soeharto dan Mahathir, Kisah Kemesraan Indonesia-Malaysia).

Beberapa penyanyi pop, seperti Emilia Contessa, Titiek Puspa, dan Bob Tutopoly, mendapat banyak penggemar di Negeri Jiran. Bahkan, pada 1974, penjualan label rekaman asal Indonesia melampaui label rekaman Malaysia. Sedangkan label rekaman musik pop Barat berada di posisi ketiga dan Tiongkok di posisi akhir.

Semasa itu pula, musik dangdut, yang muncul dalam skena musik populer Indonesia pada era 1960-an, merambah pasar Malaysia. Rhoma Irama hingga Elvy Sukaesih pun menangguk popularitas di sana.

“Sekalipun Rhoma Irama memiliki banyak penggemar di kalangan Melayu urban Malaysia, dangdut juga populer di area pedesaan, terutama di negara-negara di sisi pantai barat,” sebut Lockard.

Popularitas dangdut pun memengaruhi musik Malaysia. Di pengujung era 1970-an, salah satu musisi Malaysia, M.Shariff, melakukan modifikasi terhadap musik "irama hindustan" yang sebelumnya berkembang di Negeri Jiran. Modifikasi itu melahirkan musik yang lebih berkesan Melayu dengan cara memainkan kendang, seruling dan lirik berbahasa Melayu. Inilah dangdut itu.

Sejak itu, dangdut semakin populer. Kemunculan pedangdut lokal Malaysia pun semakin jamak di era 1980-an. Muncul nama-nama seperti Zaleha Hamid, Malek Ridzuan, Nas Atea, dan "Raja Dangdut Malaysia" Herman Tino.

Hingga sekarang, Malaysia masih menjadi target musisi Indonesia. Antara melaporkan, di sekitar waktu penyelenggaran konser Peterpan di Malaysia pada 2007 itu, terdapat delapan musisi Indonesia yang menggelar konser dan menjual albumnya di Negeri Petronas itu. Mereka adalah Rossa, Agnes Monica, Bunga C itra Lestari, Letto, Ungu, Marcel, dan Samson.

Dan itu berlanjut hingga sekarang. Pada Februari 2017, misalnya, Krisdayanti menggelar konser Romansa di Istana Budaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Tidak tanggung-tanggung, dua pejabat Malaysia, yakni Menteri Teritorial Federal Malaysia Tengku Adnan dan Menteri Komunikasi dan Multimedia Malaysia Datuk Seri Dr Salleh Said Keruak, hadir dalam acara tersebut.

"Boleh enggak Kuala Lumpur jadi rumah saya? Tentunya setelah Jakarta dan Timor Leste. Kehadiran Anda semua banyak memberi energi positif," ujar Krisdayanti, seperti dilansir dari Antara.

Infografik Musisi Indonesia

Musik dan Konfrontasi

Ketenaran para musisi Indonesia di atas sulit dibayangkan terjadi andai pertikaian Indonesia dan Malaysia di era Konfrontasi 1963-1966 masih berlangsung hingga kini.

Bagi Sukarno, saat itu Federasi Malaysia adalah boneka Inggris dan pembentukannya lebih didasarkan sebagai siasat negara-negara imperialis untuk mengacaukan Asia Tenggara. Pada kurun yang kurang lebih sama pula, Sukarno sempat mengecam musik populer dari Barat yang saat itu mengibarkan nama The Beatles. Sukarno menggolongkan musik macam itu sebagai "ngak ngik ngok".

Dalam Ganyang! Indonesian Popular Songs from the Confrontation Era, 1963–1966, Steven Farram mencatat ada lebih dari 50 lagu mengambil tema konfrontasi. Beberapa lagu mengambil tema pertarungan di perbatasan, seperti Pesan dari perbatasan (ditulis oleh Aswin R) dan Dari Rimba Kalimantan Utara (ditulis oleh Muchtar Embut). Sementara Karsono Bersaudara membawakan lagu Ke Kaltara dan Anna Manthovani membawakan Di Keheningan Malam yang menyuratkan doa untuk para "pahlawan" yang sedang berada di hutan Kalimantan bagian utara.

Dalam Five journeys from Jakarta, seorang penulis asal Australia, Maslyn Williams, mencatat pengalamannya tinggal di Indonesia selama masa-masa itu. Katanya, ke mana pun pergi, dia menemukan "sebuah kutukan yang obsesif terhadap Malaysia". Hal itu dia alami sejak pagi hari kala radio memutar lagu kebangsaan (Indonesia Raya) dan dilanjutkan "lagu kebencian" Ganjang Malaysia.

Salah satu lagu yang paling dikenal berjudul Ganjang. Lagu yang dibawakan orkestra Simanalagi ini dinyanyikan dalam irama mars dengan lirik yang secara tersurat menantang Tengku Abdul Rahman yang kala itu menjadi Perdana Menteri Malaysia.

Ganjang

Bersiaplah Tengku aku datang menentang maksudmu

Hadapilah Tengku aku akan merintang niatmu
Semangat bangsaku 'kan membara setiap penjuru
Kita berjuang membela keadilan di dunia
Kita menuntut merdeka bagi semua bangsaBangkitlah serentak Afrika Asia

Padahal, musisi bisa saja menjadi pereda suasana konflik. Jika bukan pereda, setidaknya bisa memicu suasana komikal yang menerbitkan senyum dan, boleh jadi, akan sedikit meredakan ketegangan syaraf.

Ariel Heryanto menggambarkan hal ini dengan kasus sengketa Pulau Ambalat yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Saat itu relasi kedua negara renggang karena Malaysia mengklaim kepemilikan Pulau Ambalat. Televisi menayangkan latihan TNI di sekitaran Ambalat dengan musik latar berisi lagu-lagu perjuangan.

Beberapa kelompok di Indonesia pun geram dan bahkan menyarankan untuk mengerahkan pasukan militer. Demontrasi berlangsung di depan Kedutaan Malaysia. Beberapa demonstran, di antaranya, mengobarkan kemarahan terhadap Malaysia dengan meneriakkan dan membentangkan spanduk bertuliskan "Ganyang Malaysia-Selamatkan Siti Nurhaliza!" dan "Siti Yes, Malaysia No".

“Tanpa dukungan pemerintah, dan didorong logika komersial, para artis pop secara menakjubkan berhasil merebut hati dan pikiran puluhan ribu (bahkan mungkin pula jutaan) orang Indonesia dan Malaysia,” tulis Ariel Heryanto.

Baca juga artikel terkait SEA GAMES 2017 atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Musik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS